Kita semua pernah ke kafe yang playlist-nya terlalu akrab. Lagu-lagu dari Spotify diputar dari akun pribadi, kadang diselingi iklan skincare atau podcast galau. Ironisnya, banyak pemilik tempat masih menganggap itu hal kecil. Toh cuma lagu, bukan bajakan, kan?
Sayangnya, dalam dunia hukum hak cipta, logika โcuma muter laguโ sama aja kayak bilang โcuma nyolong dikit.โ Setelah kita bisa mengatur mood lagu sesuai waktu siang dan malam kita juga perlu mengamankan kafe dan resto dari risiko hukum.
Kenapa Spotify dan YouTube Tidak Boleh untuk Komersial
Spotify, YouTube, Apple Music, Joox, dan layanan streaming sejenis adalah platform personal use only. Artinya, mereka memberi lisensi untuk mendengarkan musik, bukan menyebarkan atau memutarnya di ruang publik.
Kalau kamu putar di kafe, restoran, gym, hotel, atau toko, itu otomatis masuk kategori penggunaan komersial. Bukan karena kamu jual tiket, tapi karena musik tersebut membantu bisnismu beroperasi, membentuk suasana, bikin pelanggan betah, dan secara tidak langsung meningkatkan omzet.
Dan di mata hukum, itu artinya kamu menghasilkan uang dari musik orang lain.
Pasal 3 ayat (1) PP No. 56 Tahun 2021 sudah jelas:
โSetiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan atau musik wajib membayar royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.โ
Jadi, bahkan kalau kamu bayar langganan Spotify Premium tiap bulan, itu tidak otomatis melindungi kamu dari pelanggaran hak cipta. Karena lisensinya bukan untuk publik.
LMKN dan Royalti yang Dianggap โMisteriusโ
Banyak pengusaha masih menganggap LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) seperti urban legend. Padahal lembaga ini nyata, dibentuk langsung oleh pemerintah lewat PP 56 Tahun 2021. Tugasnya sederhana, menarik dan mendistribusikan royalti dari penggunaan musik di tempat umum.
Royalti ini bukan pajak baru, tapi hak ekonomi pencipta. Sama seperti kamu dibayar untuk kerja, musisi juga berhak dibayar saat karya mereka dipakai untuk mendatangkan keuntungan.
Tiap sektor punya tarif berbeda. Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM 2021 tentang penetapan tarif royalti, berikut contoh nominal yang berlaku:
- Kafe dan Restoran: mulai dari Rp60.000 sampai Rp240.000 per kursi per tahun, tergantung kapasitas dan lokasi
- Hotel: sekitar Rp360.000 sampai Rp1.000.000 per kamar per tahun, tergantung kelas
- Gym, Salon, Spa, Retail, dan lainnya: punya ketentuan sendiri
Sekilas kelihatan mahal, tapi kalau dibandingkan potensi denda hukum, biaya itu bahkan lebih kecil dari harga satu toples cookies premium di kafe.
Pelanggaran Hak Cipta Bukan Sekadar Teguran
Mungkin kamu berpikir, โAh, siapa juga yang mau razia musik di kafe?โ
Ya, itu juga yang dipikirkan banyak orang sebelum disidak.
LMKN sudah bekerja sama dengan berbagai asosiasi dan penegak hukum. Jika terbukti melanggar, konsekuensinya bukan cuma teguran sopan. Berdasarkan Pasal 113 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pelaku pelanggaran bisa dikenakan:
- Denda hingga Rp4 miliar
- Penjara hingga 4 tahun
Dan ya, itu bisa diterapkan bahkan kalau kamu cuma nyetel Spotify pribadi buat suasana.
Beberapa kasus sudah terjadi di Indonesia, mulai dari hotel hingga bar yang dipaksa bayar royalti besar karena ketahuan muter musik tanpa izin. Biasanya mereka baru sadar pentingnya lisensi setelah viral di berita.
Tapi โSemua Kafe Lain Juga Lakuin, Kok Aman-Aman Ajaโ
Benar. Sama seperti banyak pengendara yang tetap melanggar lampu merah tanpa ketabrak. Sampai suatu hari, ya ketabrak juga.
Masalahnya bukan siapa yang belum kena, tapi siapa yang siap saat kena. Karena ketika razia atau inspeksi dilakukan, bukti paling kecil pun bisa jadi bumerang, rekaman CCTV, story Instagram, bahkan pelanggan yang tag akun kafe kamu dengan lagu terkenal bisa jadi evidence.
Dan kalau LMKN sudah kirim surat resmi, tidak bisa diselesaikan dengan โmaaf tidak tahu.โ Di hukum, ketidaktahuan bukan pembelaan.
Solusi: Gunakan Musik yang Sudah Berlisensi Komersial
Daripada nekat dan berharap hukum tidak sempat mampir ke kafe kamu, gunakan musik yang memang sudah dilisensikan untuk ruang publik.
Sekarang ada platform legal yang menyediakan layanan seperti ini. Sistem Hak Kepemilikan Musik Terbatas yang dikembangkan Dimulti Music.
Dengan biaya mulai dari Rp10.000 per lagu per bulan, kamu bisa muter musik original, bebas royalti tambahan, dan tanpa risiko hukum.
Kamu dapat playlist lagu privat sesuai jenis bisnis (kafe, gym, spa, hotel, atau restoran), semua lagu sudah sudah menjadi milikmu secara terbatas dan tidak terhubung ke Spotify atau YouTube.
Jadi, kalau ada razia, kamu tidak perlu panik mencabut kabel AUX seperti pencuri Wi-Fi.
Kesimpulan
Musik adalah investasi suasana, tapi juga bisa jadi lubang hukum kalau asal pakai. Spotify dan YouTube memang legal untuk mendengarkan, tapi ilegal untuk menyiarkan.
Membayar royalti bukan beban, tapi bagian dari ekosistem yang sehat, di mana musisi dibayar, bisnis tenang, dan pelanggan nyaman.
Kalau kamu masih muter playlist pribadi dari HP ke speaker kafe, anggap saja kamu sedang nulis undangan ke LMKN untuk mampir. Kecuali kamu membelinya dari halaman Shop kami yang legal dan aman dari hukum.
Lebih baik bayar sedikit untuk musik yang benar daripada bayar mahal untuk kesalahan yang bisa dihindari. <DM>