Orang suka bilang “first impression matters.” Tapi di industri hotel, kesan pertama itu bahkan lebih cepat dari pandangan mata.
Sebelum tamu sempat lihat desain lobi, hidung dan telinganya sudah lebih dulu menilai.
Wangi ruangan, suhu udara, dan terutama adalah musik.
Sayangnya, banyak hotel di Indonesia yang memperlakukan musik di lobi seperti wallpaper audio: asal ada, asal halus, asal “keren.” Padahal, justru di ruang inilah identitas brand hotel diuji tanpa satu kata pun diucapkan. Karena kita sekarang sedang dalam rangka Menciptakan Pengalaman Tamu yang Berkesan, mari kita urai satu per satu.

Lobi Bukan Ruang Tunggu, Tapi Ruang Persepsi
Musik di lobi bukan sekadar pengisi keheningan. Ia adalah bahasa non-verbal yang menyampaikan kepribadian hotel.
Apakah hotelmu terasa hangat dan premium? Muda dan energik? Atau justru dingin dan kaku?
Tamu tahu jawabannya dari nada pertama yang mereka dengar.
Menurut Hospitality Design Journal (2020), 72 persen tamu menilai kualitas hotel dari kesan suasana 5 menit pertama di lobi. Dan dari seluruh faktor suasana itu, musik berkontribusi paling besar dalam memicu “emotional readiness” untuk pengalaman menginap.
Dengan kata lain: kalau musiknya salah, kamu sudah kehilangan separuh pesona bahkan sebelum tamu melihat kamar.
Kesalahan Umum: Asal Elegan, Asal Aman
Banyak hotel berpikir musik harus “elegan.” Jadilah lobi mereka terdengar seperti lift yang diperpanjang: instrumental tak bernyawa yang membuat tamu merasa di rumah sakit mahal.
Musik “aman” seperti ini justru mematikan atmosfer.
Ia tidak menenangkan, hanya tidak menimbulkan reaksi. Dan dalam branding, tidak menimbulkan reaksi berarti gagal total.
Hotel yang berani mengatur sound identity justru memenangkan hati tamu.
Contohnya:
- Hotel butik modern di Seoul menggunakan neo-soul dengan elemen ambient untuk menciptakan kehangatan minimalis.
- Resor di Ubud memainkan fusion instrumental yang memadukan gamelan halus dengan tekstur elektronik pelan, membuat tamu langsung merasa “nyambung dengan alam.”
Musik Sebagai Cermin Posisi Brand
Musik adalah cara paling mudah untuk “mengajarkan” tamu bagaimana merasakan brand kamu.
| Tipe Hotel | Genre Ideal | Efek Psikologis |
|---|---|---|
| Luxury Hotel | Modern classical, ambient jazz, or cinematic minimal | Menenangkan, eksklusif, sophisticated |
| Boutique Hotel | Lo-fi electronic, chill R&B, instrumental indie | Intim, artsy, personal |
| Beach Resort | Downtempo tropical, bossa nova, world fusion | Relaks, natural, timeless |
| Business Hotel | Modern jazz, soft house, upbeat instrumental | Profesional tapi tetap energik |
| Budget Hotel Trendy | Chill pop, electronic lounge, upbeat funk | Ramah, muda, dinamis |
Kalau hotelmu memutar musik yang tidak sesuai “jiwanya,” tamu akan bingung harus merasa apa. Sama seperti orang yang mengenakan jas tapi pakai sandal jepit.
Musik Mempengaruhi Persepsi Nilai
Menurut studi Cornell University School of Hotel Administration (2019), musik dengan tempo lambat dan tekstur halus meningkatkan persepsi “kemewahan” hingga 27 persen.
Artinya, tamu bisa merasa hotelmu lebih mahal daripada aslinya hanya karena nadanya terasa mahal.
Dan kebalikannya juga benar. Musik keras, berulang, atau terlalu cepat membuat tamu merasa tempatnya “murahan,” meskipun marmernya asli dan lampunya impor.
Musik adalah illusion builder. Kalau kamu mengontrolnya dengan benar, kamu bisa membuat hotelmu terasa lebih mewah tanpa menambah satu rupiah pun pada interior.
Musik yang Konsisten Sepanjang Journey
Sound branding yang efektif tidak berhenti di lobi. Ia harus menyatu sepanjang perjalanan tamu.
Mulai dari lift, koridor, restoran, hingga kamar. Semua harus punya napas yang sama.
Kalau musik di lobi memberi rasa tenang, tapi musik di restoran tiba-tiba EDM, lalu di lift terdengar pop radio, maka tamu kehilangan benang merah emosionalnya.
Kamu bukan menciptakan pengalaman, kamu menciptakan kebingungan sensorik.
Konsistensi adalah yang membedakan “ruang biasa” dengan “ruang yang berkarakter.”
Lisensi Musik: Bagian dari Profesionalisme
Sebagus apa pun soundscape-mu, semua runtuh kalau ternyata kamu muter Spotify pribadi.
Selain ilegal (karena termasuk penggunaan komersial yang diatur oleh PP No. 56 Tahun 2021), itu juga menghancurkan kredibilitas.
Hotel berbintang tapi playlist-nya masih diselipi iklan “Mau coba Premium gratis 30 hari?” adalah definisi luxury gone wrong.
Solusinya: gunakan musik berlisensi komersial. Bisa dengan mudah langsung kunjungi halaman Shop kami. Anda bisa bebas memilih musik dan lagu bebas royalti di halaman itu. Sistem seperti Hak Kepemilikan Musik Terbatas dari Dimulti Music** memberi hotel kebebasan penuh untuk memutar musik sesuai citra merek tanpa risiko hukum atau gangguan algoritma. Suara tetap premium, suasana tetap aman.
Kesimpulan
Lobi adalah ruang di mana tamu belum mengenalmu, tapi sudah mulai menilai.
Dan musik di ruang itu adalah kalimat pertama yang kamu ucapkan sebagai brand.
Kalau musiknya salah, semua elemen visual. Chandelier, marmer, bahkan parfum ruangan tidak bisa menolong.
Kalau musiknya benar, bahkan kursi sederhana bisa terasa mewah.
Musik di lobi bukan sekadar latar. Ia adalah jantung dari citra hotel.
Jadi kalau kamu ingin tamu merasa “wah” sebelum melihat kamar, pastikan mereka sudah mendengar wah sejak pintu masuk. <DM>