Jl. Margonda No.15, Depok, Jawa Barat 16424 - Indonesia

Jenis Musik yang Cocok untuk Kardio, Yoga, dan Strength Training

October 30, 2025

Tidak semua lagu pantas diputar saat keringat mulai menetes. Musik punya efek seperti kafein: salah dosis, kamu gemetar; dosis tepat, kamu bisa merasa seperti dewa di gym. Sayangnya, banyak orang asal pasang playlist “workout” dari Spotify dan berharap ajaib. Padahal tubuhmu bereaksi berbeda terhadap ritme, frekuensi, dan tempo.

Musik yang efektif bukan cuma yang bikin semangat, tapi yang berbicara dengan sistem saraf. Kardio, yoga, dan strength training masing-masing membutuhkan jenis musik yang mengatur tubuh dengan cara berbeda. Mari lihat kenapa satu lagu bisa membuatmu menambah beban, sementara lagu lain malah membuatmu ingin pulang. Berangkat dari Musik Upbeat dan Hubungannya dengan Performa Olahraga kita beralih ke jenis masing-masing olahraga lifestyle dewasa ini.

Jenis Musik yang Cocok untuk Kardio, Yoga, dan Strength Training

Musik untuk Kardio

Kardio adalah tentang ritme, konsistensi, dan sedikit ilusi bahwa kamu belum capek. Musik di sini berfungsi seperti metronom untuk jantung.
Semakin cepat beat-nya, semakin mudah otak menstabilkan gerakan.

Penelitian dari Brunel University London (2020) menemukan bahwa tempo ideal untuk kardio berada di antara 130–150 BPM. Pada tempo ini, otak cenderung menyesuaikan langkah dan pernapasan sehingga energi digunakan lebih efisien.

Genre yang cocok untuk kardio biasanya punya pola ritmis kuat dan repetitif, misalnya electronic dance, hip-hop upbeat, atau pop dengan beat tegas.

Musik cepat membantu menipu persepsi waktu dan rasa lelah. Kamu tidak sadar sudah lari lima kilometer karena tubuh sibuk mengikuti irama. Tapi hati-hati, kalau temponya terlalu tinggi, tubuh justru bisa kelelahan lebih cepat. Jadi pilih musik yang energik, bukan histeris.

Musik untuk Yoga

Yoga bukan tentang “tenang” tapi tentang kesadaran ritmis. Musik di yoga harus menuntun napas, bukan mendikte gerakan. Banyak studio yoga salah kaprah dengan memutar musik yang terlalu “spiritual” sampai terdengar seperti ruang meditasi di luar planet.

Menurut International Journal of Yoga (2019), musik dengan tempo 60–80 BPM membantu memperlambat gelombang otak dari beta ke alfa, yang membuat tubuh lebih rileks dan fokus.
Genre yang efektif biasanya ambient acoustic, lo-fi instrumental, atau fusion antara suara alam dan instrumen lembut seperti sitar, piano, atau cello.

Musik untuk yoga harus terasa seperti napas. Tidak perlu penuh lirik, tidak perlu terlalu manis. Cukup suara yang membuat waktu terasa lambat dan tubuh mau diam dengan senang hati.

Musik untuk Strength Training

Ini bagian favorit banyak orang. Di sini musik berfungsi bukan untuk relaksasi, tapi untuk agresi terkontrol.
Kamu butuh lagu yang menyalakan sistem saraf simpatik, bukan menenangkan otak.
Setiap detak bass adalah sinyal bagi tubuh untuk memompa adrenalin.

Menurut Journal of Strength and Conditioning Research (2018), musik dengan tempo 120–140 BPM meningkatkan kekuatan maksimal hingga 5–10 persen karena meningkatkan eksitasi saraf motorik dan fokus visual.
Genre yang efektif: trap, rock, hard hip-hop, atau electronic dengan bass dominan.

Lirik juga punya efek besar. Lagu dengan tema kemenangan atau perlawanan terbukti meningkatkan produksi dopamin, hormon yang memicu fight mode. Makanya banyak lifter yang tampak seperti tokoh film perang saat headphone mereka menyala.

Tapi jangan lupa, ada perbedaan antara energi dan kebisingan. Kalau setiap set terasa seperti konser EDM, kamu tidak sedang latihan, kamu sedang menolak introspeksi.

Konklusi

Tubuh manusia adalah instrumen, dan musik adalah konduktor.
Kardio butuh ritme stabil untuk menjaga langkah, yoga butuh alunan lembut untuk mengatur napas, dan strength training butuh dentuman untuk membakar tenaga.
Semuanya punya tempo dan nada emosional yang berbeda.

Musik yang salah bisa mengacaukan fokus atau menguras energi terlalu cepat. Tapi musik yang tepat bisa membuat latihan terasa seperti ritual.
Karena di ujungnya, performa bukan cuma soal otot dan napas, tapi tentang seberapa harmonis kamu bergerak dengan suara yang memimpinmu.